Kita hari ini hidup dalam kemudahan komunikasi yang luar biasa berkat internet dan software media sosial. Semua orang memiliki akun sebagai panggung pribadinya, terpublikasikanlah sesuatu itu ke ruang publik luas tak terbatas. Sesuatu yang mulanya milik personal berubah menjadi milik komunal, dan tepat di persinggungan inilah kerap kita menuai perbedaan, bahkan perdebatan, lalu ketegangan, perselisihan, dan bisa meruah jadi permusuhan.
Bagaimanapun, ruang panggung yang terbuka seperti saat ini tak terhindarkan untuk kerap dijadikan media ideologisasi suatu pendapat, pandangan, paham, aliran hukum Islam, juga politik. Ruahan-ruahan publikasi idelogis-politis ini melimpas bagai bah hingga acap menjadikan swasta wawasan kita sedemikian riuh dan berisiknya.
Ada yang mengatakan begini, ada pula sebaliknya, ada yang menghujat paham lainnya, ada pula yang mengkritiknya. Ada pula yang mengkafirkan orang lain. Bahkan ada pula yang menertawakan tudingan tersebut, dan sebagainya.
Pada hakikatnya, selama masih berada di ranah ikhtilaf pendapat yang di uarkan dengan Akhlakul Karimah, kiranya tetap dalam khittah-nya sebagai Rahmat.
Hanya memang terlihat sulit sekali bagi banyak individu, untuk tetap menempatkan ikhtilaf dalam Bingkai Rahmat tadi, kebanyakan justru terjatuh pada konflik, entah dalam berupa cemooh, nistaan, tudingan, dan Takfiri kepada yang lain.
Jika telah menjadi demikian, maka inilah yang saya maksudkan sebagai ideologis paham dalam berislam, dan tentulah harga ukhwah Islamiyyah yang harus di tumbalkan amatlah mahal terpemanai.
Penulis : Edi AH Iyubenu
Kutipan buku : Tuhan Maha Santai Maka Selowlah
Posting Komentar